berita.depok.go.id - 10 pemuda asal Indonesia telah menyelesaikan program Global Volunteer Winter Peak 2024-2025 AIESEC Universitas Indonesia (UI) di berbagai negara kawasan Asia dan Timur Tengah. Mereka menjadi relawan gerakan mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs).
Melalui program ini, para Exchange Participants (EPs) tak hanya berkontribusi terhadap pencapaian
SDGs. Tetapi juga mengalami pertumbuhan pribadi dan profesional yang signifikan.
Program Global Volunteer diselenggarakan dua kali setiap tahun, yakni Global Volunteer Summer Juli – Agustus. Serta Global Volunteer Winter pada Oktober – Desember.
Program ini bertujuan memberdayakan pemuda lewat pertukaran global. Para peserta berbagi kisah pengalaman mereka yang penuh makna.
Dari mengajar tentang SDGs kepada anak-anak di Seoul hingga mempromosikan pemahaman budaya di Kairo. Program ini membuka peluang untuk mengembangkan kompetensi global.
Salah satunya Nadya Irene Thourisia yang berpartisipasi dalam proyek digital marketing di Universitas Ain Shams, Mesir. Nadya mengaku, pengalaman tersebut meningkatkan kepercayaan dirinya dalam bidang profesional. Tantangan budaya yang dihadapi justru menjadi pelajaran berharga dalam pengembangan dirinya.
“Saya jadi lebih sadar akan kelebihan dan kelemahan diri saya. Global Voulenteer (GV) adalah salah satu pengalaman terbaik dalam hidup saya, justru menyesal tidak ikut GV lebih awal," ujar Nadya Irene dalam laman rilis yang diterima berita.depok.go.id.
Hal serupa dirasakan oleh Alfredo Varius, seorang relawan di Vietnam bersama FHCMC. Baginya, program ini merupakan salah satu pengalaman paling berkesan dalam hidup karena mampu meningkatkan kemampuan komunikasi, memperluas pengetahuan budaya, serta membangun ikatan persahabatan.
"Bagian paling berharga dari program ini adalah hubungan persahabatan yang masih terjalin sampai sekarang," katanya.
Sementara itu, Ayla Fayza mengikuti program di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS) Korea Selatan, yang membantunya menemukan
potensi tersembunyi dalam dirinya.
Keluar dari zona nyaman dan bekerja dengan rekan-rekan dari berbagai negara membuatnya belajar tentang pentingnya kolaborasi.
"Pengalaman ini mendorong saya menemukan potensi yang tidak saya sadari sebelumnya," tuturnya.
Pembelajaran Lintas Budaya dan Dampaknya
Tidak hanya soal pemberdayaan pemuda, Global Volunteer juga menjadi wadah pertukaran
budaya lintas negara. Para peserta menyelami budaya lokal sekaligus memperkenalkan nilai-nilai dan tradisi Indonesia ke mancanegara.
Seperti cerita Lusiyana Andriyani dan Canisya Desiva yang turut serta dalam Lumos Project di Seoul National University, mengajar topik perubahan iklim dan SDGs 13 kepada siswa di Korea Selatan.
Canisya menyebut, ini merupakan pengalaman pertamanya ke luar negeri. Program ini membuka wawasannya tentang pertukaran budaya.
Lusiyana juga mengatakan, bahwa program ini memberinya kesempatan untuk keluar dari zona nyaman dengan belajar keterampilan dan bahasa baru, serta berkontribusi nyata bagi masyarakat.
"Saya belajar keterampilan baru, bahasa baru, dan lebih mengenal diri sendiri. Tantangan ini yang membuat saya berkembang," terang Lusiyana.
Kemudian di Filipina, Indira Metta Khoirunnissa terlibat dalam proyek Global Classroom bersama Aral Pinoy. Di sana, ia mengajar anak-anak di tempat penitipan anak.
Kegiatan yang awalnya dianggap hanya tugas sukarela, ternyata berubah menjadi pengalaman emosional yang mendalam bagi dirinya.
Hubungan yang terjalin dengan sesama relawan, anak-anak, dan para guru setempat memperkaya pemahaman Indira tentang pertukaran budaya serta dampak nyata dari kegiatan kerelawanan global.
“Uang yang saya keluarkan bisa saya cari lagi, tapi pengalaman, kenangan, dan momen di Filipina tidak akan tergantikan," papar Indira.
Menguatkan Komitmen pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Kisah inspiratif lainnya datang dari Nurul Qomaria, yang menjadi relawan di SGU, Korea Selatan. Dirinya fokus pada SDGa keempat yaitu Pendidikan Berkualitas.
Dalam kegiatan edukatif di perpustakaan dan pusat pembelajaran, Nurul mengamati bagaimana anak-anak di Korea menunjukkan kedisiplinan tinggi dalam belajar. Didukung oleh fasilitas yang memadai dan metode pengajaran inovatif.
Menurutnya, pengalaman ini membuka wawasan bahwa pendidikan tidak hanya soal infrastruktur atau kurikulum, tapi juga tentang membangun budaya belajar yang kuat.
"Pendidikan bukan hanya soal infrastruktur atau kurikulum, tapi soal membangun budaya belajar. Itu yang ingin saya bawa pulang ke Indonesia," jelas Nurul Qomaria.
Persahabatan Global dan Ketahanan Diri
Global Volunteer ibarat gerbang yang membuka jalan bagi para relawan untuk menjelajahi potensi baru dalam diri mereka.
Seperti diungkapkan Ivana Clarissa yang mengikuti program di SGU, Korea Selatan. Ia mengungkapkan, pengalaman ini sangat bermakna dan penuh kenangan. Ia merasa bersyukur mendapat kesempatan tersebut, terutama saat mengajar dan bermain bersama anak-anak.
Meski menghadapi tantangan beradaptasi dan banyak belajar hal baru, Ivana mengaku berkembang dalam komunikasi, keterampilan, dan kepemimpinan. Baginya, program ini bukan sekadar proyek, tetapi bagian penting dari proses pengembangan diri.
“Saya melihat program ini sebagai bagian dari proses hidup saya," ucap Ivana Clarissa.
Peserta lainnya, Nathan Hamonangan yang bertugas di YSU Korea Selatan, Florence Ottosi di DWU Korea Selatan, dan Yolanda Zeta di Vietnam program ini menjadi kesempatan unik untuk tumbuh dalam lingkungan multikultural.
Perjalanan mereka tidak hanya tentang menjadi relawan, tetapi juga tentang menemukan ketahanan diri, mendapatkan wawasan global, dan mempraktikkan kepemimpinan secara nyata. (JD 05/ED 02)