berita.depok.go.id - Margonda di Mata Sang Anak, Jofiatini
Bagi Jofiatini, Margonda adalah sosok ayah yang gugur dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Melalui kisah Jofiatini, kita diajak mengenal lebih dekat siapa sebenarnya Margonda, seorang pahlawan yang kini telah lama terlupakan oleh generasi muda.
Margonda adalah ayah Jofiatini, seorang pejuang kemerdekaan yang namanya kini diabadikan sebagai nama jalan di Depok. Meski sosoknya telah lama tiada, ingatan tentang ayahnya tetap hidup dalam benak Jofiatini, putri semata wayang Margonda.
Kenangan itu tidak hanya tentang kebanggaan. Tetapi juga tentang kehilangan dan perjuangan yang harus dilalui tanpa kehadiran seorang ayah.
"Ayah saya tentara berpangkat letnan II, saya juga enggak mengerti ya, karena mungkin waktu itu jadi diambil saja begitu ya mungkin, dikasih pangkat saja mungkin. Tanpa ada pendidikan-pendidikan seperti sekarang," katanya, saat ditemui di kediamannya di daerah Kebon Pala, Jakarta Timur.
Kisah Cinta dan Pengorbanan Maemoenah
Namun, kisah ini tidak akan lengkap tanpa menyebut nama Maemoenah, istri Margonda sekaligus ibu dari Jofiatini. Maemoenah adalah seorang wanita tangguh yang harus menghadapi kenyataan pahit ditinggal suaminya berjuang di medan peperangan.
Bagi Maemoenah, Margonda bukan hanya sekadar seorang pahlawan. Namun lebih dari itu, Margonda telah menjadi belahan jiwa yang dicintainya dengan sepenuh hati.
"Ada sih cerita. Ya itulah, ketemunya kan di organisasi itu Yayasan Obor Pasundan. Terus ibu saya kan suka olahraga di sempur itu loh, kalau dulu korfball, kalau sekarang namanya bola keranjang. Kalau dulu ketemunya ya di situ. Ibu itu pendiam tapi bapak itu humoris," kata Jofiatini.
Maemoenah dan Margonda menikah di tengah situasi yang sulit, saat Indonesia masih berjuang meraih kemerdekaan. Pernikahan mereka terbilang sangat singkat sebelum Margonda harus meninggalkan keluarganya untuk bertempur.
Pernikahan mereka tercatat dalam Kantor Urusan Agama (KUA) Kota Bogor Timur Nomor 529/1943, pada Rabu 24 Juni 1943. Dalam waktu singkat itu, cinta mereka tumbuh dan bersemi, namun harus diuji oleh keadaan yang tidak menentu.
“Pernikahan ibu dan bapak hanya sebentar, karena Bapak harus pergi berjuang,” kenang Jofiatini.
Ketika Margonda dinyatakan gugur, Maemoenah harus menjalani kehidupan penuh ketidakpastian. Ia sering kali berharap bahwa suaminya masih hidup, berharap menemukan kembali sosok yang begitu Ia cintai, Margonda.
“Memang ibu saya selalu menunggu. Katanya bapak meninggal, katanya ada yang bilang masih hidup, di Bandung. Sampai dicari sama saudara-saudara. Jadi dulu kita tinggal di Bogor. Dulu ada pertokoan Matahari kalau sekarang, sebelahnya kan kantor polisi. Dulu hanya satu-satunya kantor polisi. Kalau setiap ada tentara berbaris gitu. Ibu saya ngajak saya. Mungkin siapa tahu ada bapak gitu. Itu aja yang saya ingat. Kalau lain-lainnya, itu saya juga mungkin masih kecil ya," katanya.
"Ya itu, menerima (Kabar Margonda Gugur) itu diberitahukan sama teman-temannya. Tapi, apa namanya, menerima itu belum. Ya salah satunya itu kalau ada tentara berbaris, kita dari rumah itu lari ke sana. Siapa tahu mungkin ada suami saya kata ibu saya," ucapnya.
Kehidupan Setelah Kepergian Margonda
Kehidupan setelah kepergian Margonda tidaklah mudah bagi Maemoenah dan putrinya. Sebagai seorang janda muda, Maemoenah harus menghidupi anaknya sendirian.
"Memang ibu saya ini orangnya kuat ya, gak mau menikah lagi. Ya udah, kan kalau dulu sekolah itu kan kita kan gak bayar. Terus sekolah juga dekat-dekat lah kalau gitu ya. Jadi ibu saya mampu untuk menghidupi kita berdua gitu," jelasnya.
Berbekal pendidikan yang didapatnya di sekolah Belanda di Jakarta, Maemoenah memutuskan untuk mandiri dan membuka usaha jahitan di Gang Slot, Bogor.
“Ibu saya dulu sempat menjadi guru di Kuningan, tapi hanya sebentar. Lalu dia mulai menerima jahitan dari mulut ke mulut, bahkan ajudan Presiden Soekarno, Ibu Hartini, juga pernah menjahitkan bajunya kepada ibu saya,” cerita Jofiatini.
Namun, meski harus hidup dalam kesederhanaan, Maemoenah tetap teguh dan tidak pernah menikah lagi. Ia memilih untuk setia pada cinta pertamanya, Margonda.
“Ibu saya orang yang kuat dan tidak mau menikah lagi. Dia berhasil menghidupi kami berdua dengan usaha jahitannya,” ujar Jofiatini dengan bangga.
Katanya, setiap tahun ibunya diundang pada pertemuan warakawuri/istri seorang militer/purnawirawan yang sampai saat suaminya gugur masih menjadi istri yang sah menurut peraturan yang berlaku.
"Saya tinggal di Gang Slot sama ibu saya. Ibu saya memang kan dapat pensiun dari negara. Waktu itu kakek saya menanyakan, apakah kamu mau usaha sendiri atau kamu mau kerja di orang lain. Waktu itu ibu saya kerja di Chinese ya yang biasa punya usaha-usaha penjahitan gitu. Akhirnya ibu saya itu berdiri sendiri. Jadi di Gang Slot itu ada namanya Modiste Tini yang diambil dari nama saya." tambahnya.
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia mengeluarkan surat nomor 22042/IV/P/DPM/12 pada 11 Juli 1953 terkait sokongan janda dan yatim kepada Maemoenah, istri Almarhum Margonda dan Jofiatini anak Almarhum Margonda. (bersambung)
Tulisan ini telah melalui proses penyuntingan oleh beberapa pihak terkait