Temukan informasi terkini dengan mengikuti akun sosial media kami

News
Margonda: Nama yang Terpatri dalam Sejarah, Cinta dan Pengorbanan (Bagian 1)
JD 03 - berita depok

188
Jumat, 23 Agt 2024, 0:01 WIB

Potret Margonda yang ada di Museum Perjoangan Bogor, Jalan Merdeka Nomor 56 Kota Bogor. (Foto: Diskominfo Depok)

berita.depok.go.id - berita.depok.go.id - Potret hitam-putihnya masih terpajang apik di salah satu lemari di sudut ruangan lantai 2 Museum Perjoangan Bogor, Jalan Merdeka Nomor 56 Kota Bogor. Mengenakan topi ala westerling, fotonya tampak bersebelahan dengan Kapten Tb. Muslihat dan Letnan Jenderal Ibrahim Adjie. 

Margonda, mungkin lebih dikenal sebagai salah satu nama jalan utama di Kota Depok, Jawa Barat, dibandingkan kisah heroiknya mengusir penjajah di tanah Depok. Sejarah mencatat, Margonda lahir tahun 1918 di Baros, Cimahi, Bandung, Jawa Barat. 

“Dia memang bukan pahlawan asli dari Kota Depok, tapi berjuang untuk Depok,” ucap Herman, Relawan Museum Perjoangan Bogor, memulai cerita kepada berita.depok.go.id. 

Nama Margonda tidak bisa dilepaskan dari pertempuran 16 November 1945 tepat 79 tahun lalu, di daerah Kalibata, Pancoran Mas (Panmas), Depok. Dihari itu pertempuran antara penjajah dengan para pejuang pecah dan berlangsung hingga sehari-semalam. 

Margonda ikut dalam sebuah penyerbuan serdadu-serdadu Belanda yang menjaga pemukiman orang-orang Belanda Depok. Kala itu Margonda ingin melemparkan sebuah granat siap ledak, namun nahas sebelum granat itu dilempar ke arah musuh, tubuhnya sudah tertembak bedil musuh tepat di dadanya.

Margonda pun tumbang seketika bersimbah darah dan gugur di medan pertempuran di usia yang relatif masih muda, yakni 27 tahun.

“Saat ingin melempar granat ke arah musuh, Margonda lebih dahulu tertembak oleh tentara musuh. Granat itu pun akhirnya meledak menghancurkan tubuh Margonda,” cerita Herman sembari menunjukan foto Margonda di lemari itu. 

Lulusan Laboraten Cursus

Nama Margonda pertama kali mencuat pada tahun 1938, ketika Ia berhasil lulus dari kursus laboran di Laboraten Cursus. Sebuah prestasi yang diakui dalam berita Het Nieuws van de Dag voor Nederlandsch Indie.

"Margonda adalah salah satu dari 12 siswa yang berhasil menyelesaikan ujian analis, sebuah pencapaian yang menandai awal perjalanan panjangnya," ungkap Ratu Farah Diba, seorang pemerhati sejarah Depok.

Setahun kemudian, Margonda terlibat dalam Yayasan Obor Pasundan, sebuah organisasi yang berfokus pada penelitian budaya Sunda. Dari sini, perjalanan hidup Margonda semakin berkembang. Pada tahun 1939, ia bekerja di Departemen Ekonomi dan ditempatkan di Laboratorium Kimia Industri. 

Disinilah Margonda bertemu dengan Maemoenah, wanita yang kemudian menjadi istrinya. Pertemuan antara keduanya di Yayasan Obor Pasundan sempat dimuat pada koran Bataviaasch Niewusblad pada 19 April 1939, keduanya tercatat menjadi pengurus dari yayasan tersebut. 

Margonda tidak hanya berkarier di laboratorium, tetapi juga mengikuti pelatihan penerbangan cadangan di Luchtvaart Afdeeling, Kalijati, Subang. Disana Ia bersama Adi Sucipto, yang kelak menjadi pahlawan penerbangan Indonesia. 

Namun, datangnya pendudukan Jepang membekukan banyak organisasi, termasuk tempat Margonda berkarya. Kondisi ini mendorongnya untuk bergabung dengan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI), yang kemudian menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).

“Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, AMRI dibubarkan, dan para anggotanya bergabung ke dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR),” ujar Farah Diba. 

“Margonda aktif dalam pertempuran tapi tidak terlibat dalam peristiwa Gedoran Depok karena Margonda datang dengan batalion 1 pasca peristiwa Gedoran Depok pada bulan Oktober. Margonda menyerang pasukan Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang menjaga tanah Depok,” jelasnya. 

“Pada saat itu, Margonda sudah berpangkat letnan dan memimpin pasukannya untuk merebut Depok dari tangan Belanda,” cerita Farah Diba. 

Abadi dalam Nama Jalan

Pada tahun 1973, rekan-rekan seperjuangan Margonda mengusulkan agar nama temannya itu diabadikan menjadi sebuah nama jalan. Awalnya, usulan ini ditujukan untuk menggantikan nama jalan di Bogor, tempat Margonda tinggal, namun ditolak karena Margonda bukan asli putra daerah Bogor. 

Akhirnya, usulan ini diterima oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dan dijadikan nama jalan utama di Depok. Dimana saat itu masih merupakan bagian dari Kabupaten Bogor.

“Menteri Sosial saat itu, H.M.S Minteredja, yang juga adik ipar Margonda, turut mendukung usulan ini. Nama Jalan Margonda Raya kemudian resmi menggantikan nama Jalan Pintu Air dan menjadi simbol penghormatan atas jasa Margonda dalam perjuangan kemerdekaan, khususnya di wilayah Depok,” tutur Farah Diba. 

Tempat-tempat kuliner, mal dan tempat kuliner kekinian kini tersedia di sepanjang ruas jalan yang panjangnya kurang lebih mencapai 4,5 Kilometer (Km) ini. Beberapa stasiun juga letaknya tidak jauh dari jalan Margonda, sebut saja Stasiun Pondok Cina, Universitas Indonesia (UI) dan Depok Baru. 

“Kisah Margonda adalah cerminan dari banyak pahlawan tak dikenal lainnya, yang telah berjuang demi Tanah Air, namun nama dan jasanya terkubur oleh waktu. Margonda, pejuang yang namanya abadi di jalan utama Depok adalah simbol pengorbanan dan cinta Tanah Air yang tak terlupakan,” ungkap Farah Diba. (bersambung) 

Tulisan ini telah melalui proses penyuntingan oleh beberapa pihak terkait


Apa reaksi anda?
2
0
1
0
0
0
0