berita.depok.go.id - Menyikapi temuan Kementerian Pertanian (Kementan) terkait beredarnya beras premium yang tidak sesuai mutu dan label alias beras oplosan, Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan (DKP3) Kota Depok menegaskan bahwa hingga saat ini belum ditemukan kasus serupa di wilayah Depok.
DKP3 Kota Depok juga berkomitmen untuk memperkuat koordinasi dan pengawasan di lapangan.
Kepala DKP3 Kota Depok, Widyati Riyandani, menjelaskan bahwa praktik oplosan yang umum ditemukan adalah pencampuran beras medium dan premium, yang berpotensi menurunkan mutu dan tidak sesuai dengan label kemasan.
“Yang terjadi biasanya beras medium dicampur dengan premium lalu dijual dengan harga tinggi. Secara kasat mata kadang memang sulit dibedakan, tapi masyarakat umum biasanya bisa tahu dari bentuk, rasa, dan tampilannya," ujar Widyati kepada berita.depok.go.id, Sabtu (26/07/25).
"Salah satu indikator sederhananya, semakin rendah kadar air dalam beras maka semakin baik daya simpannya,” lanjutnya.
Widyati menekankan bahwa dari sisi keamanan pangan, selama bahan yang digunakan adalah beras pangan, maka tidak menimbulkan risiko kesehatan.
Namun, yang perlu diwaspadai adalah pencampuran dengan bahan non-pangan atau beras yang diberi pemutih dan zat sintetis yang dapat membahayakan.
“Kalau hanya masalah mutu, dampaknya lebih ke penurunan kualitas dan ketidaksesuaian harga. Tapi kalau sampai menggunakan bahan pemutih atau sintetis, itu sudah masuk kategori berbahaya dan tentu akan di tindak,” tegasnya.
Meski belum ditemukan kasus di Depok, DKP3 akan meningkatkan pengawasan dengan berkoordinasi bersama Dinas Perdagangan dan Industri (Disdagin) Kota Depok.
Hal ini sejalan dengan arahan distribusi pangan terkait pengawasan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
“Alhamdulillah sampai saat ini belum ada temuan di Depok. Tapi kami tetap akan melakukan pengawasan bersama Dagin. Kemarin juga ada arahan agar distribusi pangan turut mengawasi SPHP. Pengawasan kami fokus pada kesesuaian mutu, harga, dan isi kemasan,” jelasnya.
Widyati pun mengimbau masyarakat untuk lebih jeli dalam memilih beras sebelum membeli.
“Cara sederhana untuk membedakan, bisa dilihat secara visual. Kalau banyak butir patah, kemungkinan itu beras medium karena batas maksimalnya 25 persen. Sedangkan beras premium lebih banyak butir utuh, dengan standar maksimal butir patah 15 persen,” tambahnya.
Sebagai informasi, standar mutu beras premium telah diatur dalam Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023 dan SNI 6128:2020.
Praktik pencampuran beras selama masih sesuai standar mutu diperbolehkan, namun yang melanggar hukum adalah mencampur beras subsidi SPHP dengan jenis lain untuk dijual sebagai beras premium.
“Kami akan terus berkoordinasi dan menyesuaikan dengan arahan pusat, terutama jika ada sidak pasar atau temuan terbaru dari kementerian. Masyarakat juga kami harap lebih teliti dan lapor jika menemukan ketidaksesuaian di pasar,” pungkas Widyati. (JD 03/ED 01).