berita.depok.go.id - Kain-kain sepanjang dua meter berjejer di atas jemuran kayu, di sela pepohonan rimbun di belakang rumah Ambar, perajin batik sekaligus pemilik Batik Puri Ambary.
Lahan cukup luas itu kini dalam tahap renovasi dan rencananya akan dijadikan tempat belajar membatik.
Di ruangan-ruangan bersekat, Ambar bersama seorang pegawainya menuangkan cerita ke atas kain putih hingga menjelma selembar batik.
Ada dua teknik yang ia tekuni, yakni batik cap dan batik tulis. Puluhan stempel bermotif khas Depok tersusun rapi, mulai dari Tari Topeng Cisalak, Belimbing, Kebun Belimbing, Gong Si Bolong, Pencak Silat, hingga Situ.
Tanpa banyak waktu terbuang, Ambar membentangkan kain, menyiapkan canting cap yang dicelupkan ke lilin cair, lalu menekannya ke kain hingga motif berpindah sempurna. Proses dilanjutkan dengan pewarnaan menggunakan teknik celup atau colet, fiksasi warna, lalu perebusan untuk melarutkan lilin, teknik nglorot hingga motif muncul dengan warna kontras.
“Untuk menghasilkan warna yang bagus bisa memakan waktu berhari-hari. Dicelup, dikeringkan, begitu terus sampai benar-benar mendapatkan warna yang sesuai,” ungkap Ambar.
Selain batik cap, ia juga menekuni batik tulis. Dengan lihai, ia memegang canting dan membubuhkan lilin di atas kain, mengikuti pola yang sudah dibuat.
Sambil menggambar, Ambar bercerita. Sebelum menjadi Industri Kecil dan Menengah (IKM) binaan Pemerintah Kota Depok, ia lebih dulu bergabung di level nasional melalui binaan SMESCO.
Namun saat itu, batik yang ia pamerkan belum menampilkan identitas khas Depok. Hingga suatu hari, ia mendapat teguran dari desainer kawakan, Samuel Wattimena.
“Kata beliau, kok orang Depok tapi batiknya malah gaya Jawa Tengah. Harus kembangkan batik Depok dong. Dari situ saya mulai tergugah untuk membesarkan batik Kota Depok,” kenangnya.
Pertama kali Ambar mengenal batik Depok melalui motif One Day No Rice yang menggambarkan diversifikasi pangan lokal selain beras. Motif ini menjadi simbol gaya hidup sehat dengan mengedepankan pangan lokal.
Seiring waktu, lahir berbagai motif baru. Ambar ingin karyanya berbeda, sehingga ia lebih dulu mengamati potensi alam dan budaya Depok untuk kemudian dituangkan menjadi batik bernilai eksklusif.
“Saya suka bercerita tentang Kota Depok. Ada kebun belimbing, penari topeng Cisalak sebagai cikal bakal Betawi, gong si bolong yang merupakan seni musik sejak zaman dulu,” ucapnya.
“Kalau tidak ada cerita atau filosofi, rasanya hanya memindahkan gambar saja. Saya harus mengolah objek di depan mata lewat pikiran dan hati agar menjadi sebuah batik,” tambahnya.
Untuk warna alam, Batik Puri Ambary menggunakan bahan baku dari Jawa Tengah, seperti gambir, mangrove, mahoni, jambal, jolawe, dan indigofera.
Menurut Ambar, tidak semua tumbuhan berwarna bisa dijadikan pasta batik. Selain memberi warna, juga harus memiliki sifat perekat.
“Di Depok saya eksplor sendiri, seperti pohon ketapang yang mudah didapat. Saya juga sedang observasi tanah merah di Cipayung, sepertinya bisa untuk warna batik,” jelasnya.
Melalui batik pewarna alam, Batik Puri Ambary ikut menggaungkan dukungan terhadap keberlanjutan lingkungan agar alam tidak tercemar limbah tekstil.
“Depok harus siap duluan. Walau belum seperti Jawa Tengah yang punya kampung batik, pembatik Depok yang baru tumbuh ini justru harus lebih dulu menjaga lingkungan dan alam,” tandasnya. (JD 05/ED 02)