berita.depok.go.id - Penampilan Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Depok, Siti Barkah Hasanah, dalam gelaran Sunda Karya Fest: Karya Kreatif Jawa Barat (KKJB) 2025 tak hanya memukau secara visual, tapi juga menyentuh sisi emosional lewat busana yang sarat akan makna.
Dalam perhelatan tersebut, Cing Ikah sapaannya mengenakan batik bertema “Lingering of Flavor”, karya desainer berbakat Erlita Madeline dari Tea-tea Batik.
Desain batik ini terinspirasi dari tradisi lama Rantangan yang sangat lekat dengan kehidupan masyarakat Depok.
Lebih dari sekadar wadah makanan, rantangan menjadi simbol kasih sayang dan ikatan kekeluargaan, terutama saat momen Lebaran, ketika makanan khas seperti pepes jantung pisang buatan Ibu dibagikan antar keluarga dan tetangga.
“Batik ini bukan hanya indah, tapi juga punya cerita. Kami ingin mengangkat budaya tradisi leluhur kita. Rantangan itu budaya kekeluargaan dari anak ke ibu, lalu dibalikin dari ibu ke anak. Di sana ada nilai kasih, perhatian, dan tradisi yang harus kita jaga,” ungkap Cing Ikah, kepada berita.depok.go.id
Motif-motif dalam batik “Lingering of Flavor” menggambarkan elemen-elemen khas, seperti suasana rumah saat Lebaran, cita rasa aroma masakan Ibu, dan semangat berbagi.
Sentuhan motif jantung pisang, rantang dan ornamen dapur tradisional divisualisasikan secara halus namun kuat dalam karya ini.
Erlita Madeline, melalui Tea-tea Batik, berhasil menyulap narasi lokal menjadi karya fashion yang elegan, kontemporer, dan penuh makna.
“Lewat Sunda Karya Fest: Karya Kreatif Jawa Barat (KKJB) 2025 ini, saya bersama teman-teman Dekranasda dan para desainer berinisiatif menciptakan fashion yang menyampaikan pesan budaya. Ini bukan hanya tentang gaya, tapi juga edukasi positif tentang Kota Depok dan kekayaan tradisinya,” tambah Cing Ikah.
Batik karya Erlita tak hanya menjadi busana, tetapi juga jembatan antara masa lalu dan masa kini sebuah ekspresi budaya yang hidup dan berkembang bersama masyarakat Depok.
Keterlibatan UMKM kreatif seperti Tea-tea Batik menunjukkan bahwa industri fashion lokal bisa menjadi ruang ekspresi sekaligus pelestarian budaya.
“Terlebih karya kota dibuat sedemikian rupa, agar tetap stylist bisa digunakan untuk aktivitas harian seperti bekerja,” tutupnya. (JD 03/ED 01)