berita.depok.go.id - Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid ikut dalam Rapat Koordinasi (Rakor) dan Evaluasi Tata Ruang Provinsi Jabar yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi bersama kepala daerah se-Jabar.
Rakor tersebut dilaksanakan di Aula Teratai, Balai Kota Depok, Selasa (11/03/25).
Dalam momen itu, dirinya mengungkapkan sejumlah permasalahan utama terkait tata ruang di Jabar. Seperti belum optimalnya revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di sejumlah daerah.
"Ada 10 kabupaten di Jawa Barat yang belum merevisi RTRW mereka, dan kondisinya saat ini sudah tidak sesuai lagi. Ini harus segera direvisi agar selaras dengan kebutuhan pembangunan dan kondisi aktual di lapangan," ujarnya, usai rakor tersebut.
Dirinya menyoroti rendahnya pencapaian target Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Provinsi Jabar yang baru mencapai 17 persen.
Menurutnya, ini berimbas pada ketidakpastian dalam proses perizinan, karena belum adanya kejelasan dalam zonasi tata ruang.
"Semua izin kegiatan apa pun itu harus dimulai dari Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang atau KKPR. Kalau zooming-nya tidak jelas, perizinan menjadi kacau," kata Nusron.
Kemudian persoalan lain yang dibahas dalam rakor adalah penguasaan tanah di sempadan sungai oleh masyarakat.
Dirinya menjelaskan, di banyak wilayah, tanah sepanjang bibir sungai telah dikuasai masyarakat selama 10 hingga 30 tahun. Ini menjadi kendala dalam program normalisasi dan pelebaran sungai.
Sebagai solusinya, pemerintah akan menetapkan tanah di dalam garis sempadan sungai sebagai tanah negara dan menyerahkannya kepada Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS).
"Nanti kita akan terbitkan sertifikat untuk BBWS. Kalau BBWS atau Sumber Daya Air tidak punya dana untuk pengukuran, maka biayanya akan ditanggung oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar," tuturnya.
"Dengan demikian, semua aset tanah di sempadan sungai akan menjadi aset negara, sehingga tidak ada lagi klaim sepihak dari masyarakat," jelas Nusron.
Kemudian mengenai kepemilikan tanah di sempadan sungai yang telah bersertifikat, ia menegaskan akan melakukan kajian mendalam secara kasus per kasus.
Jika ditemukan adanya penyimpangan atau kecurangan dalam proses penerbitan sertifikat, maka sertifikat tersebut bisa dibatalkan.
"Kalau prosesnya tidak benar dan ditemukan ada kecurangan, sertifikatnya akan kita batalkan. Tapi kalau prosesnya benar dan memang itu haknya, ya mau tidak mau harus dilakukan pengadaan tanah, dengan ganti rugi atau kompensasi," tegasnya.
Namun, lanjut dia, bagi warga yang menguasai tanah negara secara tidak sah, pemerintah hanya akan memberikan kompensasi dalam bentuk kerohiman, bukan melalui mekanisme appraisal.
"Kalau itu tanah negara, prosesnya tidak benar, dan warga tetap ngotot, maka solusinya adalah kerohiman. Tidak pakai appraisal, karena itu bukan haknya," terang Nusron.
Maka dari itu, kebijakan ini diharapkan dapat menjaga ekosistem dalam jangka panjang, dan memberikan kepastian hukum.
"Serta memastikan investasi dan pembangunan tidak terganggu akibat persoalan tata ruang dan kepemilikan lahan yang tumpang tindih," tutup Nusron. (JD 10/ED 02)